Skip to main content

Upacara Rambu Solo dan Ritual Ma'nene di Tana Toraja

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Seperti yang telah kita baca dari wacana singkat di atas, Suku Toraja terkenal akan beberapa adat istiadatnya. Salah satunya yang paling sangat terkenal bahkan sampai ke penjuru dunia adalah ritual pemakaman ‘mayat berjalan’ atau yang disebut Ma’nene. Pada kesempatan ini, saya ingin sedikit membahas mengenai upacara dan ritual pemakaman yang ada di Toraja. Meski sumber yang ada masih sangat terbatas, saya akan coba mengumpulkan dari berbagai sumber dan merangkumnya di sini.

Upacara Pemakaman (Rambu Solo)
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Upacara kematian ini disebut Rambu Solo’. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.

Tempat penguburan Toraja yang diukir.
 Dalam agama Aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut Rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Harga kerbau yang dibeli oleh pihak keluarga bisa mencapai harga 200-800 juta, tergantung dari banyaknya corak putih (kerbau bule) yang melekat di tubuh kerbau, semakin banyak corak putihnya maka semakin mahal kerbau itu. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur".
Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut Tau Tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Menurut kesaksian dari Kaskuser yang asli Toraja, kerbau yang dimaksud di atas disebut "Tedong Bonga'" oleh masyarakat toraja, harga yang paling umum sekitar 50 juta namun ada pula yang sampai ratusan juta, tapi itu tergantung dari kondisi fisik kerbau. Dari bentuk tanduk, sampai belang-belangnya.
Metode pemakaman yang disimpan dalam gua batu sudah mulai jarang dilakukan dan sudah mulai ada yang melakukan penguburan dalam tanah. Ada juga metode yang penempatan mayatnya di dalam rumah kecil yang disebut "Patane". Jadi di dalamnya ada beberapa mayat, biasanya berasal dari satu keluarga.
“Kebetulan orang tua saya orang Toraja dan saya pernah ke sana. Saya diajak ke daerah lokasi pemakaman Sondah, dan saya masuk ke dalam. Di dalam gua benar-benar gelap tapi ada pemandunya di kiri dan kanan saya. Di dalam gua itu penuh tengkorak manusia, saya sampai merinding. Oya, waktu itu buyut saya meninggal, dan kata Ibu saya buyut saya sudah diawetkan selama 1 ½ tahun. Menurut adat di sana kalau meninggal memang harus menununggu anak-anaknya yang sedang merantau dan sekalian mengumpulkan dana untuk pesta besar. Itu untuk yang bukan muslim, kalau muslim acaranya hanya satu hari dan langsung dimakamkan” cerita seorang Kaskuser lain yang seorang asli Toraja juga.

Sebuah makam.
Secara garis besar upacara pemakaman terbagi kedalam 2 prosesi, yaitu Prosesi Pemakaman (Rante) dan Pertunjukan Kesenian. Prosesi-prosesi tersebut tidak dilangsungkan secara terpisah, namun saling melengkapi dalam keseluruhan upacara pemakaman. Prosesi Pemakaman atau Rante tersusun dari acara-acara yang berurutan. Prosesi Pemakaman (Rante) ini diadakan di lapangan yang terletak di tengah kompleks Rumah Adat Tongkonan. Acara-acara tersebut antara lain:
1.    Ma’Tudan Mebalun, yaitu proses pembungkusan jasad.
2.    Ma’Roto, yaitu proses menghias peti jenazah dengan menggunakan benang emas dan benang perak.
3.    Ma’Popengkalo Alang, yaitu proses perarakan jasad yang telah dibungkus ke sebuah lumbung untuk disemayamkan.
4.    Ma’Palao atau Ma’Pasonglo, yaitu proses perarakan jasad dari area Rumah Tongkonan ke kompleks pemakaman yang disebut Lakkian.
Prosesi yang kedua adalah Pertunjukan Kesenian. Prosesi ini dilaksanakan tidak hanya untuk memeriahkan tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan doa bagi orang yang sudah meninggal. Dalam Prosesi Pertunjukan kesenian Anda bisa menyaksikan:
1.    Perarakan kerbau yang akan menjadi kurban.
2.    Pertunjukan beberapa musik daerah, yaitu Pa’Pompan, Pa’Dali-dali, dan Unnosong.
3.    Pertunjukan beberapa tarian adat, antara lain Pa’Badong, Pa’Dondi, Pa’Randing, Pa’katia, Pa’Papanggan, Passailo dan Pa’Silaga Tedong.
4.    Pertunjukan Adu Kerbau, sebelum kerbau-kerbau tersebut dikurbankan.
5.    Penyembelihan kerbau sebagai hewan kurban.
Pertunjukkan seni yang diselenggarakan tidak hanya berfungsi untuk memeriahkan proses pemakaman, namun juga sebagai bentuk penghormatan dan doa bagi orang yang sudah meninggal. Biasanya jumlah kerbau yang disembelih menjadi ukuran tingkat kekayaan dan derajat orang yang meninggal ketika mereka masih hidup. Upacara adat Rambu Solo bagi masyarakat Tana Toraja dianggap sebagai satu upacara yang penting dan hukumnya wajib. Upacara adat ini mencerminkan kehidupan masyarakat Tana Toraja yang suka bergotong royong, memiliki sikap kekeluargaan serta sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian mereka kepada orang yang telah meninggal.
Dalam adat istiadat Tana Toraja, masyarakat mempercayai bahwa setelah kematian maih ada sebuah ‘dunia’. ‘Dunia’ tersebut adalah sebuah tempat keabadian dimana arwah para leluhur berkumpul. Serta merupakan tempat peristirahatan. Masyarakat Toraja menyebutnya Puya, yang berada di sebelah Selatan Tana Toraja. Di Puya inilah, arwah yang meninggal akan bertranformasi, menjadi arwah gentayangan (Bombo), arwah setingkat dewa (To Mebali Puang), atau arwah pelindung (Deata). Masyarakat Toraja mempercayai bahwa wujud transformasi tersebut tergantung dari kesempurnaan prosesi Upacara Rambu Solo. Oleh karena itu, Rambu Solo juga merupakan upacara penyempurnaan kematian.
Rambo Solo menjadi kewajiban bagi keluarga yang ditinggalkan. Karena hanya dengan cara Rambu Solo, arwah orang yang meninggal bisa mencapai kesempurnaan di Puya. Maka keluarga yang ditinggalkan akan berusaha semaksimal mungkin menyelenggarakan Upacara Rambu Solo. Akan tetapi, biaya yang diperlukan bagi sebuah keluarga untuk menyelenggarakan Rambu Solo tidaklah sedikit. Oleh karena itu, upacara pemakaman khas Toraja ini seringkali dilaksanakan beberapa bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah meninggalnya seseorang.
Masyarakat Tana Toraja mempercayai bahwa Rambu Solo akan menyempurnakan kematian seseorang. Oleh karena itu, mereka juga beranggapan bahwa seseorang yang meninggal dan belum dilaksanakan Upacara Rambu Solo, maka orang tersebut dianggap belum meninggal. Orang ini akan dianggap bahkan diperlakukan seperti orang yang sedang sakit atau dalam kondisi lemah.
Orang yang dianggap belum meninggal ini, juga akan diperlakukan seperti orang yang masih hidup oleh anggota keluarganya. Misalnya dibaringkan di ranjang ketika hendak tidur, disajikan makanan dan minuman, dan diajak bercerita dan bercanda seperti biasanya, seperti saat orang tersebut masih hidup. Hal ini dilakukan oleh semua anggota keluarga, bahkan tetangga sekitar terhadap orang yang sudah meninggal ini.
Maka untuk menggenapi kematian orang tersebut, pihak keluarga harus menyelenggarakan Rambu Solo. Oleh karena biaya yang tidak sedikit, maka pihak keluarga membutuhkan waktu untuk mengumpulkan dana untuk upacara pemakaman. Biaya untuk menyelenggarakan Upacara Rambu Solo berkisar antara puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Itulah sebabnya mengapa di Tana Toraja orang yang meninggal, baru akan dimakamkan berbulan-bulan setelah kepergiannya.

Sumber:

Ritual "Mayat Berjalan" Ma’nene

Mayat ini akan berjalan sendiri ke makamnya setelah diberi mantra-mantra.
Di Tanah Toraja ada sebuah ritual atau kebiasaan dalam prosesi pemakaman. Cukup unik, dan, mungkin menyeramkan. Mayat yang telah disemayamkan bertahun-tahun di sebuah tebing tinggi dan kuburan batu, tiba-tiba jasadnya bangkit. Mayat itu kemudian berjalan mencari rumahnya. Setiba di rumah, dia akan tidur lagi. Cerita mayat berjalan ini sudah dikenal masyarakat Toraja sejak zaman leluhur. Hingga kini ritual tersebut masih ada dan bisa dilihat dengan mata telanjang. Kabut tipis menyelimuti pegunungan Balla, Kecamatan Baruppu, Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Pertengahan Agustus silam, merupakan hari yang mendebarkan. Selain kampung Baruppu diterjang kabut hebat ditambah dinginnya angin pagi, hari itu juga menjadi kesibukan warga Baruppu.
Di tengah balai-balai rumah, mereka menggelar sebuah ritual. Mereka menyebutnya Ma’nene. Sebuah ritual untuk mengenang leluhur, saudara dan handai taulan yang sudah meninggal. Dari sinilah misteri budaya Tanah Toraja terkuak. Seorang wanita tua terlihat dikelilingi warga. Semua orang memandang serius. Siapa wanita itu? Dilihat dari belakang, dia usianya kira-kira 60-70 tahun. Sangat tua. Rambutnya tergerai dengan lebat. Rambutnya sudah ditumbuhi uban. Dia sama sekali tidak bergerak. Kedua tangannya disilangkan ke depan. Wanita tua itu mengenakan pakaian kegemarannya warna biru.
Seluruh kulitnya terlihat kusut. Ada warna putih kecoklat-coklatan. Kelihatannya dulu dia pernah mengalami kebakaran sehingga kulitnya menjadi begitu. Yang aneh, meski dikelilingi puluhan orang, wanita itu tetap bergeming. Mematung. Tidak menoleh atau berbicara. Setelah didekati, ternyata dia adalah sesosok mayat. Ma’nene, begitu kata orang Toraja. Ma’nene adalah mayat yang telah diawetkan. Bagi masyarakat Toraja, kematian adalah sesuatu yang disakralkan. Bagi mereka, kematian harus dihormati. Mereka yang mati biasanya diletakkan di dalam gua. Selama bertahun-tahun didiamkan di sana.
Mayat tadi, adalah mayat seorang ibu sekaligus nenek yang telah meninggal selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, mayat tersebut masih utuh. Apakah dia dibalsem? Tidak. Kisah tentang mayat utuh ini sudah ada sejak tahun 1905. Mayat-mayat utuh tersebut pertama ditemukan di sebuah gua di Desa Sillanang. Saat ditemukan mayat tersebut tidak busuk, pun sampai sekarang. Uniknya, mayat untuh itu tidak dibalsem maupun diberi ramuan. Alami.
Menurut Tampubolon, (45), anak ketua adat setempat, kemungkinan ada semacam zat di gua itu yang khasiatnya bisa mengawetkan mayat manusia. “Kalau saja ada ahli geologi dan kimia yang mau membuang waktu menyelidiki tempat itu, sepertinya teka teki gua Sillanang dapat dipecahkan,” kata Tampubolon.
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla. Dikisahkan di tengah perburuan, Pong Rumasek, warga Toraja, menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia. Jasad itu tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Kondisinya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang belulang. Hati Pong Rumasek tergugah. Ia ingin merawatnya. Jasad itu dibungkus dengan baju yang dipakainya. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek kemudian melanjutkan perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali Pong mengincar binatang buruan, dia selalu mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkan, tiba-tiba panen lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya berlimpah. Sejak itu, setiap kali berburu ke hutan, Pong selalu menemui arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut sering diajak berburu menggiring binatang.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen besar di bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene, upacara pemakaman untuk menghormati leluhur, tak lain mendiang Pong Rumasek. Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga.
Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene, status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kawin lagi.
Ritual Ma`nene sendiri dilakukan setiap tahun sekali. Ini merupakan satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa. Penduduk Desa Baruppu percaya jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading. Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit atau yang datang dari awan. Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya selalu dikuburkan di liang batu. Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.
Seperti yang dilakukan keluarga besar Tumonglo. Bagi keluarga Tumonglo, ritual Ma`nene adalah sakral dan wajib dilakukan. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan serangkaian kegiatan ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu - leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu - diturunkan. Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah tarian dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazahpun mulai diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam itu berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian. Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya. Di desa Bu`buk, suasananya tak jauh beda dengan desa lainnya di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga akan melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya Ne`kiding. Sebelum ke kuburan, masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.

Mayat yang disimpan di kuburan batu.
Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu seperti umumnya, melainkan Patane, semacam kuburan batu atau rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka. Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan. Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang meninggal pantang diletakkan di dasar tanah. Karena itu, para sanak keluarga selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah patane. Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur, menyuruh mayat berjalan.
Mayat-mayat yang dimakamkan di kuburan tebing atau kuburan batu (patane) - setelah bertahun-tahun berlalu - kemudian diangkat dan dikeluarkan. Di situ para kerabat keluarga akan menangis. Tapi ada tradisi kuno yang dilakukan warga Toraja, selain mengeluarkan mayat, mereka juga membangkitkan mayat. Lebih unik lagi, mayat tersebut bisa disuruh berjalan pulang ke rumah. Inilah fakta yang terjadi di Tanah Toraja. Dan, mungkin hanya ada di tempat ini. Jika selama ini mayat berjalan hanya bisa ditonton di film-film yang tidak nyata, maka tradisi mayat berjalan di Tanah Toraja benar-benar ada di depan mata dan sangat nyata.
Cerita mengenai mayat berjalan banyak versinya. Versi yang pertama menyebutkan, dulu, ratusan tahun sebelumnya pernah terjadi perang saudara di Tanah Toraja. Perang itu melibatkan orang-orang Toraja Barat dan Toraja Timur. Dalam peperangan tersebut, Toraja Barat kalah telak. Sebagian besar tewas. Tetapi pada saat akan pulang kampung, seluruh mayat Toraja Barat bangkit dari kematin. Dan berjalan. Sedang orang Toraja Timur, walaupun hanya sedikit yang tewas, mereka tetap menggotong mayat saudara mereka yang mati. Perang itu dianggap seri.
Sementara versi kedua menurut Tampubolon, mayat berjalan kaku dan agak tersentak-sentak itu sebenarnya sudah mengakar dari kehidupan masa lalu. Dulu, orang-orang Toraja biasa menjelajah daerah-daerah yang bergunung-gunung. Di sana banyak ceruk. Dan kemana-mana mereka hanya dengan berjalan kaki. “Dari zaman purba sampai sekarang tetap begitu. Mereka tidak mengenal pedati, delman, gerobak atau semacamnya. Dalam perjalanan itu, banyak dari mereka yang jatuh sakit dan mati,” cerita Tampubolon.
Supaya mayat tidak sampai ditinggal di daerah yang tidak dikenal (orang Toraja sangat menghormati roh orang mati), maka dengan satu ilmu gaib (semacam hipnotis), mayat-mayat itu kemudian dapat berjalan pulang. Cara demikian dilakukan supaya mayat tidak menyusahkan manusia lain. Sebab akan sangat tidak mungkin menggotong terus-menerus jenazah sepanjang perjalanan yang makan waktu berhari-hari. Mayat berjalan itu baru berhenti bila ia sudah meletakkan badannya didalam rumahnya sendiri. Kendati demikian masih ada satu pantangan, yakni mayat yang berjalan tidak boleh disentuh. “Kalau disentuh hopnotisnya akan hilang,” terang Tampubolon yang sudah sejak kecil melihat ayahnya menghipnotis mayat berjalan.
Pada keturunan selanjutnya, orang-orang Toraja sering menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang kuburnya. Begitu pula saat mereka ingin pulang atau dikangeni keluarganya. Di rumah, memang telah disediakan satu tempat khusus untuk mayat-mayat tersebut. Bila mereka (mayat) pulang, mereka bisa menghuni rumah itu. Setiba di rumah mereka akan tidur lagi. Tapi jika mau kembali ke rumah sebelumnya, yakni patane, mereka akan berjalan lagi.
Fenomena mayat berjalan juga dituturkan, Ardiansyah (28), warga asli Tanah Toraja. Dia mengaku pernah pernah menyaksikan sendiri dengan mata telanjang, ada mayat berjalan sendiri. “Kejadiannya sekitar tahun 1992. Waktu itu saya baru kelas 3 SD. Pada saat itu di desa saya ada seorang bernama Pongbarrak yang ibunya meninggal. Seperti adat orang Toraja, sang mayat tidak langsung dikuburkan tetapi masih harus melalui prosesi adat rambu solo atau penguburan,” jelas Ardiansyah.
“Setelah mayat dimandikan”, lanjut Ardiansyah, “mayat itu kemudian diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar khusus sebelum dimasukkan ke peti jenazah. Pada malam ketiga, seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan nanti. Saat itu saya duduk di teras rumah, tiba-tiba ada kegaduhan dalam rumah. Semua ibu-ibu berteriak. Karena penasaran, saya berusaha melongok ke dalam rumah. Dan astaga, mayat ibu Pongbarrak berjalan keluar dari kamar,” kenang Ardiansyah.
Ardiansyah menceritakan, saat itu dia dan temannya kontan berteriak histeris. Saking takutnya mereka langsung berlari menuruni tangga. “Saya berlari dan mendapatkan ayah saya sambil berteriak histeris. Setelah itu saya langsung dibawa pulang ke rumah dan saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya,” cerita Ardiansyah yang mengaku baru pertama kali melihat mayat berjalan.
Keesokan harinya, kejadian tersebut membuat seluruh warga heboh. Dan informasi yang diperoleh Ardiansyah, Pongbarrak sengaja melakukan ritual tersebut karena dia ingin menghormati ibunya. Cuma pada malam itu, dia tidak ingin memindahkan ibunya. Pongbarrak cuma berusaha mempraktekkan ilmunya. Sebab konon, jika sang ibu sudah berada di kuburan batu, sewaktu-waktu dia akan menarik ibunya kembali untuk diajak pulang. Tentunya dengan cara berjalan sendiri.
Pada zaman sekarang, diakui Ardiansyah, memang hal itu nyaris tidak pernah terjadi, kecuali orang-orang Toraja yang berada di pedalaman. “Generasi muda seperti saya, malah tidak tahu soal itu. Yang kami tahu, kalau orang mati itu akan diletakkan di kuburan batu. Mereka bisa awet hingga bertahun-tahun,” jelas Ardiansyah yang mengaku pernah memakamkan keluarganya di kuburan batu.
Hanya saja, yang dibingungi Ardiansyah, adalah mayat berjalan. Menurutnya tradisi itu bukan sembarangan dilakukan oleh orang Tanah Toraja. Mereka yang bisa melakukan itu sebelumnya memiliki ilmu tertentu yang diturunkan dari guru-gurunya atau sesepuh adat. “Itu ilmu kuno. Di zaman sekarang tak banyak orang bisa melakukan itu,” kata Ardiansyah. Ardiansyah menambahkan, dia dulunya juga pernah diajari kakeknya. Tapi karena membangkitkan mayat dirasa ngeri, maka dia urung mempelajari ilmu tersebut.
Biasanya, orang yang memiliki ilmu membangkitkan orang mati, mereka awalnya mempraktikkan pada binatang seperti ayam atau kerbau yang diadu dalam keadaan leher terputus. “Binatang seperti kerbau yang sudah dipotong kepalanya dan dikuliti habis pun, jika diberi mantera-mantera atau ilmu gaib Tanah Toraja, mereka masih bisa dibuat berdiri dan berlari kencang, mengamuk ke sana sini,” kutip Ardiansyah yang mengaku bangga dengan adat leluhurnya.
Meski begitu, tradisi Tanah Toraja menjalankan mayat dari Rante (tempat persemayaman) ke Patane, diakui Ardiansyah, hanya bisa dilakukan oleh masyarakat Toraja. Mayat-mayat tersebut dapat berjalan karena doa-doa yang dipanjatkan ke leluhur dan arwah almarhum. Sayang, ritual ini perlahan mulai ditinggalkan. Sebab masyarakat Toraja telah banyak yang memeluk agama samawi. “Ritual Ma’nene sebenarnya tidak hilang, hanya jarang dipakai saja. Tapi bila mau masuk ke pelosok desa, ritual mayat berjalan masih tetap dijalankan. Sebab warga Toraja masih percaya dengan hal-hal mistik. Dan karena mereka ingin menjaga kekhasan budaya leluhur agar tidak hilang.”



Comments

Popular posts from this blog

Reading 4 the 8th Meeting

Dracula - Chapter 1 The Road to Castle Dracula   My name is Jonathan Harker. I am a lawyer and I live in London. About seven years ago, some strange and terrible things happened to me. Many of my dear friends were in danger too. At last we have decided to tell the story of that terrible time. Part of my work is to find houses in England for rich people who live in foreign countries. At the beginning of 1875, I received a letter from Transylvania, a country in Eastern Europe. The letter was from a rich man called Count Dracula. He wanted to buy a house near London.   The Count ask me to find him an old house with a large garden. The price of the house was not important. I found him a large, old house to the east of London. I wrote to the Count and he agreed to buy it. There were many papers which he had to signs. To my surprise, Count Dracula invited me to visit him in his castle in Transylvania. ‘Bring the papers with you,’ he wrote in his letter. ‘I can sign them here.’   I

Heal the World

Mungkin...ini sudah sangat terlambat untuk mengatakan lagu Heal the World yang dinyayikan Michael Jackson mengandung pesan dan makna yang sangat dalam, tapi tak ada salahnya saya mengatakan apa yang saya pikirkan ketika saya -setelah sekian lama- mendengarkan kembali lagu ini sambil membaca liriknya. And the dream we were conceived In Will reveal a joyful face And the world we once believed in Will shine again in grace Then why do we keep strangling life Wound this earth Crucify its soul Though it's plain to see This world is heavenly be God's glow Bumi ini semakin hancur dan rusak. Penghuninya kini sudah semakin tak peduli dengan kondisi bumi yang sangat memprihatinkan. Di luar keadaan lingkungannya, manusia terus saling pamer kekuasaan, harta, uang dan sebagainya. Saling menghancurkan ras dan agama secara perlahan dan sembunyi-sembunyi, atau terang-terangan dan membuat seluruh dunia heboh dengan caranya yang membabi buta. Kemana perginya manus

Workshop Young Diabetic Discussion: Learn and Manage Type 1 Diabetes

DOCLink 2018 akan menyelenggarakan acara workshop  dengan tema: Young Diabetics Discussion: Learn and Manage Type 1 Diabetes NOVOTEL, MANGGA DUA JAKARTA Sabtu, 21 Juli 2018 16.00-21.00 MATERI ACARA: 1. Materi 1 - basic diabetes & update 2. Materi 2 - new treatment options and insulin adjustment strategy 3. Materi 3 - diabetes technology in apps, pumps and CGM Notes: 1. Biaya Rp100.000 (akan dapat kaos lengan panjang) 2. Kuota terbatas 3. Terbuka untuk umum 4. Terbuka untuk diabetisi di atas 17 tahun (apabila anak di bawah 17, boleh digantikan orang tuanya) For registration please contact: Sarah: 085781068575 Dr Firas: 08159471228